Waktu itu sekitar November 1998. Para santri baru saja kembali dari menikmati liburan caturwulan I di bulan Oktober. Sekembali ke pondok, sebagai santri yang baru mondok empat bulan saya dikejutkan dengan kemeriahan di Tebuireng. Kemeriahan itu bernama Rajabiyah. Sebuah kegiatan yang rutin tiap tahun dihelat oleh para santri secara mandiri. Mereka urunan sendiri, membentuk kepanitiaan sendiri, mengurus segala detailnya sendiri.
Setiap komplek di Tebuireng menggelar kegiatan Rajabiyah. Pun dengan Orda (Organisasi Daerah) juga menggelar kegiatan dengan tema yang sama.
Kemeriahan Rajabiyah ini persis seperti kemeriahan Agustusan di kampung. Berbagai lomba digelar. Mulai dari lomba ilmiah semacam lomba baca kitab, lomba pidato, lomba adzan, lomba bilal, lomba cerdas cermat, lomba kaligrafi dan semacamnya. Sampai dengan lomba non ilmiah yang bernuansa hiburan seperti balap karung, kepruk kendil, sepak bola, makan krupuk dan lomba aneh-aneh lainnya. Untuk lomba non ilmiah ini nampak masing-masing komplek berebut menunjukkan lomba paling unik. Karena di jenis lomba inilah kreatifitas santri diadu.
Nyaris setiap malam Selasa dan malam Jum'at di pekan-pekan itu speaker yang di pasang di teras masing-masing komplek bersahutan adu suara. Suara lomba adzan dari satu komplek bisa bertabrakan dengan suara lomba pidato di komplek sebelahnya. Belum lagi suara penonton yang ramainya mengalahkan suara speaker. Kesannya memang berisik, tapi yang dirasakan para santri adalah ramai, seru dan meriah.
Di momen seperti ini, mentalitas seorang santri yang diutus mewakili kamarnya untuk mengikuti lomba benar-benar diuji. Gambarannya ketika lomba pidato misalnya. Seorang peserta yang baru tersendat di mukadimah pidato, akan disoraki oleh santri sekomplek. Definisi disoraki di sini bukan sekadar berupa teriakan "huu...". Namun juga tepuk tangan dan gayung yang dipukul-pukul ke daun pintu dan aneka perilaku "barbar" lainnya.
Setelah sekira sebulan aneka variasi kegiatan Rajabiyah itu dihelat barulah pada puncaknya para santri mengikuti kegiatan penutup Rajabiyah yang biasanya diisi pembagian hadiah dan pengajian dengan mengundang pembicara.
Di momen penutupan inilah, para santri baru bisa merasakan makan enak. Nasi bungkus dengan menu ayam panggang. Ini benar-benar menu yang istimewa, karena di hari biasa makan mie goreng instan di kantin Pak Syauqi saja sudah merupakan kemewahan yang terkadang harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak diolok-olok teman dengan titel "horang kayah".
Saya pernah mendengar, jika kegiatan Rajabiyah juga dilakukan oleh banyak santri di pondok pesantren lain. Tidak hanya di Tebuireng.
Saya pun bertanya-tanya, kenapa yang digelar Rajabiyah? Bukan Sya'baniyah? Atau Shafariyah? Atau lainnya? Ada apa dengan bulan Rajab? Mengapa kemeriahannya seolah sudah seperti kemeriahan bulan Agustus?
Belakangan saya menduga bahwa Rajabiyah ini berkaitan dengan hari kelahiran NU. NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H. Anda tentu sudah tahu itu. Oleh karenanya bulan Rajab memiliki makna sejarah yang mendalam bagi warga NU. Dan bisa jadi itu diekpresikan oleh santri di pesantren dengan menggelar kegiatan bertajuk Rajabiyah. Sekali lagi ini sekadar dugaan yang kebenarannya belum teruji.
Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama yang ke-99. 16 Rajab 1344 H-16 Rajab 1443 H.
Comments