Skip to main content

ANTARA IPNU ATAU NABA

Boleh dibilang Naba' adalah cinta pertamaku sedangkan IPNU menempati posisi kedua. Bagaimana bisa? Bukankah Naba' bagian dari IPNU?
Waktu itu aku masih sekolah, masih tinggal di pesantren. Saat liburan tiba aku pulang ke rumah. Pada waktu itulah aku mendapati majalah bikinan anak IPNU-IPPNU Ancab Waru di meja belajar sepupuku. Majalah Naba' namanya.
Saat itu juga aku langsung jatuh cinta dan bertekad suatu saat aku harus bergabung di dalamnya. Beradu kreativitas dengan kawan-kawan di sana. Mungkin perasaan itu muncul karena ada perasaan ingin balas dendam atas kegagalanku menerbitkan majalah sekolah. Aku cuma bisa menahkodai penerbitan buletin mingguan.
Waktupun berlalu hingga akhirnya aku lulus dan memutuskan untuk pulang dari pesantren. Saat itulah aku mulai diajak ikut ke IPNU dan akupun mulai mencintai organisasi ini. Tapi hanya sebagai cinta kedua. Cinta pertama tetap untuk majalah Naba'.
Pernah memang, aku ditawari untuk ikut ke Naba'. Entah siapa yang merekomendasikan. Tapi waktu itu aku belum siap. Aku merasa kemampuanku belum apa-apa. Aku harus banyak belajar dulu sebelum benar-benar masuk ke Naba'. Namun itu adalah keputusan yang salah. Bukankah aku bisa belajar sambil jalan. Perasaan minder memang selalu mencoba membunuh keberanian untuk berkreasi.
Tak lama setelahnya Naba' mulai vakum dan akhirnya mati suri. Hingga akhirnya aku ditawari untuk masuk ke Pelaksana Harian PAC IPNU pasca reshufle. Jujur aku tidak pernah tertarik untuk menjadi anggota BPH maupun Departemen. Yang aku cita-citakan adalah lembaga. Tepatnya Lembaga Infokom. Karena di sanalah aku bisa masuk ke Naba'. AKu lebih suka mengasah skill menulis daripada mengurus organisasi.
Kini, ketika aku masuk ke Naba' dan diminta menjadi Pemred, kondisinya sama sekali lain dengan Naba' yang dulu. Orangnya sudah banyak yang hilang (hampir semua malah), manajemennya amburadul, meninggalkan hutang dan masalah di sana sini dan kantornya pun sudah tidak ada.
Aku merasa seperti Dahlan Iskan yang direkrut Jawa Pos ketika Jawa Pos hampir gulung tikar. Meskipun sebenarnya aku harus banyak kerja sendiri mulai dari konsep hingga melobi pemasang iklan, namun aku merasa enjoy dan tak terbebani sedikitpun.
Tapi kok rasanya temen-temen baru di Naba' geraknya lambat sekali. Atau mungkin aku yang terlalu cepat. Yang pasti aku sangat bersemangat mengelola Naba'. Karena Naba' adalah cinta pertamaku.
Kalaupun suatu saat aku harus memilih antara mengurus IPNU atau Naba', maka tanpa ragu sedikitpun aku akan memilih Naba'. Bukan hanya karena aku lebih cinta Naba' tapi karena tidak ada lagi orang yang telaten ngurusin Naba' seperti aku. Bukan sombong, tapi beginilah kenyataannya. Aku tak mau naba' mati lagi.

020408

Comments

Popular posts from this blog

Algoritma Google dalam Menerka

Google perusahaan pencari paling besar di bumi selain semakin menggila, juga semakin tidak masuk akal perkembangannya. Algoritma yang dikembangkan google membuat kesok tahuan google bermetamofosis menjadi keserba tahuan. Dulu untuk mencari data menggunakan mesin pencari semacam google diperlukan trik-trik khusus. Yakni dengan menambahkan algoritma pemrograman. Di antara trik itu bisa dibaca di sini . Kita perlu menambahkan AND, OR, *, -, &, dan lain sebagainya ke dalam pencarian kita. Lebih rincinya silakan dibaca di artikel tersebut. Artikel itu ditulis pada 2008. Sekarang. 11 tahun dari artikel itu ditulis. Algoritma google sudah mengalami kemajuan pesat. Suatu malam, tetangga saya punya hajat. Manten. Agak jauh dari rumah. Tapi suara sound systemnya terdengar cukup jelas dari kamar tidur saya. Afham yang saat itu mendengar sebuah lagu dari acara mantenan secara refleks menirukan. Entah darimana ia mengenal lagu itu. Hanya saja ia melafalkan lirik yang salah. Saat ...

Belum Berangkat Sudah Rindu

Hari ini, Senin, 1 Juli 2019 adalah hari saya mulai tinggal di Malang untuk kegiatan PPG. Kamu tahu bagaimana rasanya meninggalkan anak istri di rumah untuk 2 bulan? Sesek. Padahal saya punya pengalaman jauh dari orang tua selama 6 tahun. Bahkan kegiatannya lebih berat, nyantri. Fasilitas pun seadanya. Berbeda dengan sekarang. Kegiatan PPG yang akan berakhir September kelak itu saya tinggal di kos yang tentu saja fasilitasnya lebih baik daripada ketika mondok dulu. Tapi ini bukan persoalan kenyamanan fisik. Ini adalah persoalan kenyamanan psikis. Dulu ketika awal-awal mondok. Pas lagi kangen-kangennya dengan orang tua, saya berpikir bahwa yang kangen hanya saya saja. Kini setelah saya berumah tangga dan punya anak saya jadi mengerti, rasa rindu orang tua kepada anaknya ketika terpisah jarak tidak kalah menyesakkan. Padahal kegiatan saya ini hanya 2 bulan bukan 6 tahun, itupun tiap akhir pekan saya bisa pulang sebentar. Tapi kamu tahu bagaimana perasaan saya semalam? Rasanya ingin saya ...

Rajabiyah dan Kemeriahannya

  Waktu itu sekitar November 1998. Para santri baru saja kembali dari menikmati liburan caturwulan I di bulan Oktober. Sekembali ke pondok, sebagai santri yang baru mondok empat bulan saya dikejutkan dengan kemeriahan di Tebuireng. Kemeriahan itu bernama Rajabiyah. Sebuah kegiatan yang rutin tiap tahun dihelat oleh para santri secara mandiri. Mereka urunan sendiri, membentuk kepanitiaan sendiri, mengurus segala detailnya sendiri. Setiap komplek di Tebuireng menggelar kegiatan Rajabiyah. Pun dengan Orda (Organisasi Daerah) juga menggelar kegiatan dengan tema yang sama. Kemeriahan Rajabiyah ini persis seperti kemeriahan Agustusan di kampung. Berbagai lomba digelar. Mulai dari lomba ilmiah semacam lomba baca kitab, lomba pidato, lomba adzan, lomba bilal, lomba cerdas cermat, lomba kaligrafi dan semacamnya. Sampai dengan lomba non ilmiah yang bernuansa hiburan seperti balap karung, kepruk kendil, sepak bola, makan krupuk dan lomba aneh-aneh lainnya. Untuk lomba non ilmiah ini nampak ma...