Sudah berkali-kali dia hadir di dalam mimpiku. Tapi di dalam mimpi-mimpi itu seolah ada jarak yang membuatku sulit untuk berinteraksi dengannya. Aku hanya melihat hadirnya tanpa merasakan bahwa dia benar-benar ada dalam mimpiku.
Dan semalam, dia hadir lagi dalam mimpiku. Namun, kali ini kita berinteraksi. Aku pikir mimpi itu akan indah, ternyata mimpi itu malah sangat menyesakkan hingga hampir membuatku ingin mengakhiri segalanya. Untung aku segera bangun dan menyadari itu hanya mimpi. Mimpi itu.....
Malam hari yang cukup sejuk. Tidak terlalu dingin. Angin berhembus tidak terlalu kencang hingga tak ada yang terasa menusuk-nusuk tulang. Firman duduk di sebuah taman menghadap sebuah air mancur yang bergemericik indah. Tiba-tiba dengan tanpa diduga duduklah seseorang di sebelahnya. Seorang wanita cantik yang selama ini dikaguminya secara sembunyi-sembunyi.
"Hai, Re. Lagi ngapain di sini?" Tanya firman agak keheranan.
"Lagi pengen refreshing aja."
Hadirmu memang benar-benar membuat refresh, Re.
"Pernikahanmu tinggal sebulan lagi ya? Selamat ya! Aku ingin menjadi orang yang pertama kali mengucapkan selamat atas hari bahagiamu itu."
"Wah, makasih, Fir. Nanti aku kasih souvenir dobel deh pas resepsi. Plus pemotretan eksklusif dengan aku dan suamiku. Bertiga aja. Aku, mas Rio dan kamu."
Pemotretan yang menyakitkan, Re.
Firman memandang sekeliling. Sepi. Tak ada orang. Kalaupun ada, hanya di kejauhan. Yang tak mungkin mendengar percakapan mereka. Hingga ia tak perlu takut pertemuan ini diketahui calon suami Rere.
Firman merasa perlu untuk membicarakan hal yang dia ingin hanya dia dan Rere yang tahu.
"Ada yang ingin aku omongin ke kamu dari dulu. Tapi selalu gak sempet."
"Apa itu, kenapa gak diomongin sekarang aja. Mumpung aku ada di sini."
Firman menarik nafas cukup dalam. Seolah hendak melakukan pekerjaan yang teramat berat. Ia mengumpulkan tenaga. Mengumpulkan keberanian.
"Aku mencintaimu, Re."
Rere tersentak. Lalu memandangi Firman dalam-dalam.
“Kamu nggak lagi bergurau kan?”
“Aku menyukaimu sejak pertemuan itu. Sejak namamu pun aku tak tahu. Seorang wanita ceria yang menjadi perhatian banyak pria.” Mata Firman menerawang ke depan.
Rere mulai merapatkan posisi duduknya pada Firman, lalu mengamit lengannya.
“Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu.”
“Karena aku nggak berani.”
“Nggak berani kenapa?”
“Takut kamu menolaknya. Kamu terlalu mewah buatku.”
“Laki-laki bodoh! Setidaknya dengan berkata jujur. Kamu telah berbuat untuk membuka pintu.”
“Aku tidak siap kalau tiba-tiba kamu menutup pintu itu rapat-rapat.”
“Laki-laki bodoh! Justru aku menunggumu untuk membukakan pintu itu.”
Firman menatap mata Rere yang kini bergelayut pada lengan kokohnya. Firman mulai menyesal. Tapi penyesalan itu sungguh bodoh. Hingga dipandanginya mata Rere berkaca-kaca lalu menyandarkan kepalanya pada pundak Firman. Dadanya mulai bergetar. Sesenggukan. Menangis karena menyesal juga kah? Tapi apa yang harus disesali Rere. Rere tidak berbuat sesuatu hingga harus ia sesali.
Rere menyesal telah menerima lamaran mas Rio. Lelaki mapan, baik hati, bertanggung jawab, dan pemberani. Pemberani karena telah melamarnya dengan jantan. Tidak seperti Firman. Lelaki yang meski cerdas tapi hanya bisa berdiam diri menunggu ketidakpastian. Suatu perbuatan yang hanya pantas dilakukan orang bodoh. Tapi pertunangan itu tak perlu disesalkan. Karena pertunangan itulah yang menyebabkan Firman berani menyatakan perasaannya. Meski terlambat. Kini Rere pun sudah mulai belajar mencintai Rio.
“Akuh… ju… ga… mencintai... mu, Fir.” Dengan terbata-bata dan sesenggukan Rere mengucapkan kalimat itu dengan tetap bersandar di Pundak Firman. “Laki-laki bodoh! Kenapa baru sekarang?” Lalu berderailah air mata itu bak hujan pertama setelah musim kemarau yang berkepanjangan.
Firman mengelus rambut Rere. Ia begitu menyayangi wanita ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi beberapa minggu ke depan ia akan menjadi milik orang lain. Semua ini terjadi karena sebuah penantian bodoh.
“Maafkan aku, Re.” kata Firman lirih.
“Laki-laki bodoh!”
Tiba-tiba aku terbangun dan malam memang sedang hening. Hanya ada suara detak jarum jam dinding kamar. Jam dinding itu menunjukkan pukul 03.03 WIB.
Aku harus segera berbuat. Tapi…. Itu kan Cuma mimpi. Andai mimpi itu merupakan gambaran masa depan. Maka aku akan segera memperbaiki masa depanku dari sekarang. Mendatangi dia lalu mengatakan apa adanya. Tapi itu kan Cuma mimpi. Sekali lagi Cuma mimpi.
CUMIIII….
CUma MImpiii …..
Dari Indosat….. (alah….!)
Kamar, 190908
Terispirasi dari mimpi menggelikan tadi malam
Terispirasi dari mimpi menggelikan tadi malam
Comments