Skip to main content

CUMA MIMPI


Sudah berkali-kali dia hadir di dalam mimpiku. Tapi di dalam mimpi-mimpi itu seolah ada jarak yang membuatku sulit untuk berinteraksi dengannya. Aku hanya melihat hadirnya tanpa merasakan bahwa dia benar-benar ada dalam mimpiku.
Dan semalam, dia hadir lagi dalam mimpiku. Namun, kali ini kita berinteraksi. Aku pikir mimpi itu akan indah, ternyata mimpi itu malah sangat menyesakkan hingga hampir membuatku ingin mengakhiri segalanya. Untung aku segera bangun dan menyadari itu hanya mimpi. Mimpi itu.....

Malam hari yang cukup sejuk. Tidak terlalu dingin. Angin berhembus tidak terlalu kencang hingga tak ada yang terasa menusuk-nusuk tulang. Firman duduk di sebuah taman menghadap sebuah air mancur yang bergemericik indah. Tiba-tiba dengan tanpa diduga duduklah seseorang di sebelahnya. Seorang wanita cantik yang selama ini dikaguminya secara sembunyi-sembunyi.
"Hai, Re. Lagi ngapain di sini?" Tanya firman agak keheranan.
"Lagi pengen refreshing aja."
Hadirmu memang benar-benar membuat refresh, Re.
"Pernikahanmu tinggal sebulan lagi ya? Selamat ya! Aku ingin menjadi orang yang pertama kali mengucapkan selamat atas hari bahagiamu itu."
"Wah, makasih, Fir. Nanti aku kasih souvenir dobel deh pas resepsi. Plus pemotretan eksklusif dengan aku dan suamiku. Bertiga aja. Aku, mas Rio dan kamu."
Pemotretan yang menyakitkan, Re.
Firman memandang sekeliling. Sepi. Tak ada orang. Kalaupun ada, hanya di kejauhan. Yang tak mungkin mendengar percakapan mereka. Hingga ia tak perlu takut pertemuan ini diketahui calon suami Rere.
Firman merasa perlu untuk membicarakan hal yang dia ingin hanya dia dan Rere yang tahu.
"Ada yang ingin aku omongin ke kamu dari dulu. Tapi selalu gak sempet."
"Apa itu, kenapa gak diomongin sekarang aja. Mumpung aku ada di sini."
Firman menarik nafas cukup dalam. Seolah hendak melakukan pekerjaan yang teramat berat. Ia mengumpulkan tenaga. Mengumpulkan keberanian.
"Aku mencintaimu, Re."
Rere tersentak. Lalu memandangi Firman dalam-dalam.
“Kamu nggak lagi bergurau kan?”
“Aku menyukaimu sejak pertemuan itu. Sejak namamu pun aku tak tahu. Seorang wanita ceria yang menjadi perhatian banyak pria.” Mata Firman menerawang ke depan.
Rere mulai merapatkan posisi duduknya pada Firman, lalu mengamit lengannya.
“Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu.”
“Karena aku nggak berani.”
“Nggak berani kenapa?”
“Takut kamu menolaknya. Kamu terlalu mewah buatku.”
“Laki-laki bodoh! Setidaknya dengan berkata jujur. Kamu telah berbuat untuk membuka pintu.”
“Aku tidak siap kalau tiba-tiba kamu menutup pintu itu rapat-rapat.”
“Laki-laki bodoh! Justru aku menunggumu untuk membukakan pintu itu.”
Firman menatap mata Rere yang kini bergelayut pada lengan kokohnya. Firman mulai menyesal. Tapi penyesalan itu sungguh bodoh. Hingga dipandanginya mata Rere berkaca-kaca lalu menyandarkan kepalanya pada pundak Firman. Dadanya mulai bergetar. Sesenggukan. Menangis karena menyesal juga kah? Tapi apa yang harus disesali Rere. Rere tidak berbuat sesuatu hingga harus ia sesali.
Rere menyesal telah menerima lamaran mas Rio. Lelaki mapan, baik hati, bertanggung jawab, dan pemberani. Pemberani karena telah melamarnya dengan jantan. Tidak seperti Firman. Lelaki yang meski cerdas tapi hanya bisa berdiam diri menunggu ketidakpastian. Suatu perbuatan yang hanya pantas dilakukan orang bodoh. Tapi pertunangan itu tak perlu disesalkan. Karena pertunangan itulah yang menyebabkan Firman berani menyatakan perasaannya. Meski terlambat. Kini Rere pun sudah mulai belajar mencintai Rio.
“Akuh… ju… ga… mencintai... mu, Fir.” Dengan terbata-bata dan sesenggukan Rere mengucapkan kalimat itu dengan tetap bersandar di Pundak Firman. “Laki-laki bodoh! Kenapa baru sekarang?” Lalu berderailah air mata itu bak hujan pertama setelah musim kemarau yang berkepanjangan.
Firman mengelus rambut Rere. Ia begitu menyayangi wanita ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi beberapa minggu ke depan ia akan menjadi milik orang lain. Semua ini terjadi karena sebuah penantian bodoh.
“Maafkan aku, Re.” kata Firman lirih.
“Laki-laki bodoh!”

Tiba-tiba aku terbangun dan malam memang sedang hening. Hanya ada suara detak jarum jam dinding kamar. Jam dinding itu menunjukkan pukul 03.03 WIB.
Aku harus segera berbuat. Tapi…. Itu kan Cuma mimpi. Andai mimpi itu merupakan gambaran masa depan. Maka aku akan segera memperbaiki masa depanku dari sekarang. Mendatangi dia lalu mengatakan apa adanya. Tapi itu kan Cuma mimpi. Sekali lagi Cuma mimpi.
CUMIIII….
CUma MImpiii …..
Dari Indosat….. (alah….!)

Kamar, 190908
Terispirasi dari mimpi menggelikan tadi malam

Comments

Popular posts from this blog

Algoritma Google dalam Menerka

Google perusahaan pencari paling besar di bumi selain semakin menggila, juga semakin tidak masuk akal perkembangannya. Algoritma yang dikembangkan google membuat kesok tahuan google bermetamofosis menjadi keserba tahuan. Dulu untuk mencari data menggunakan mesin pencari semacam google diperlukan trik-trik khusus. Yakni dengan menambahkan algoritma pemrograman. Di antara trik itu bisa dibaca di sini . Kita perlu menambahkan AND, OR, *, -, &, dan lain sebagainya ke dalam pencarian kita. Lebih rincinya silakan dibaca di artikel tersebut. Artikel itu ditulis pada 2008. Sekarang. 11 tahun dari artikel itu ditulis. Algoritma google sudah mengalami kemajuan pesat. Suatu malam, tetangga saya punya hajat. Manten. Agak jauh dari rumah. Tapi suara sound systemnya terdengar cukup jelas dari kamar tidur saya. Afham yang saat itu mendengar sebuah lagu dari acara mantenan secara refleks menirukan. Entah darimana ia mengenal lagu itu. Hanya saja ia melafalkan lirik yang salah. Saat ...

Belum Berangkat Sudah Rindu

Hari ini, Senin, 1 Juli 2019 adalah hari saya mulai tinggal di Malang untuk kegiatan PPG. Kamu tahu bagaimana rasanya meninggalkan anak istri di rumah untuk 2 bulan? Sesek. Padahal saya punya pengalaman jauh dari orang tua selama 6 tahun. Bahkan kegiatannya lebih berat, nyantri. Fasilitas pun seadanya. Berbeda dengan sekarang. Kegiatan PPG yang akan berakhir September kelak itu saya tinggal di kos yang tentu saja fasilitasnya lebih baik daripada ketika mondok dulu. Tapi ini bukan persoalan kenyamanan fisik. Ini adalah persoalan kenyamanan psikis. Dulu ketika awal-awal mondok. Pas lagi kangen-kangennya dengan orang tua, saya berpikir bahwa yang kangen hanya saya saja. Kini setelah saya berumah tangga dan punya anak saya jadi mengerti, rasa rindu orang tua kepada anaknya ketika terpisah jarak tidak kalah menyesakkan. Padahal kegiatan saya ini hanya 2 bulan bukan 6 tahun, itupun tiap akhir pekan saya bisa pulang sebentar. Tapi kamu tahu bagaimana perasaan saya semalam? Rasanya ingin saya ...

Rajabiyah dan Kemeriahannya

  Waktu itu sekitar November 1998. Para santri baru saja kembali dari menikmati liburan caturwulan I di bulan Oktober. Sekembali ke pondok, sebagai santri yang baru mondok empat bulan saya dikejutkan dengan kemeriahan di Tebuireng. Kemeriahan itu bernama Rajabiyah. Sebuah kegiatan yang rutin tiap tahun dihelat oleh para santri secara mandiri. Mereka urunan sendiri, membentuk kepanitiaan sendiri, mengurus segala detailnya sendiri. Setiap komplek di Tebuireng menggelar kegiatan Rajabiyah. Pun dengan Orda (Organisasi Daerah) juga menggelar kegiatan dengan tema yang sama. Kemeriahan Rajabiyah ini persis seperti kemeriahan Agustusan di kampung. Berbagai lomba digelar. Mulai dari lomba ilmiah semacam lomba baca kitab, lomba pidato, lomba adzan, lomba bilal, lomba cerdas cermat, lomba kaligrafi dan semacamnya. Sampai dengan lomba non ilmiah yang bernuansa hiburan seperti balap karung, kepruk kendil, sepak bola, makan krupuk dan lomba aneh-aneh lainnya. Untuk lomba non ilmiah ini nampak ma...