Sebuah kejadian yang berlangsung sudah agak lama. 12 Juli 2008 tepatnya.
Cuaca malam itu sebenarnya cukup dingin. Tapi di depan AULA SMPN 1 Waru aku malah bercucuran keringat. Aku tidak sendirian di sana, beberapa orang berada di luar Aula. Salah satunya berlinang air mata karena telah tertimpa nasib yang beberapa menit ke depan akan menimpaku juga.
Di dalam Aula, suasana dipenuhi dengan antusiasme mendengarkan orang-orang berjas biru yang di saku dadanya bertuliskan PC. IPNU Sidoarjo sedang membacakan nama-nama atau lebih tepatnya satu nama. Yaitu namaku. Sesekai terdengar sorak sorai. Entah kenapa mereka bergembira padahal aku di luar sedang cemas, gelisah, tak lagi fokus. Pikiranku ke mana-mana, tanganku melipat-lipat kertas membentuk pesawat untuk melepas tegang. Tapi tidak bisa. Aku terlanjur cemas. Bingung. Sejuta pertanyaan menyesaki kepalaku. Dari sejuta pertanyaan itu Sembilan Ratus Ribunya adalah "mampukan aku?".
Aku jadi menyesali keputusanku beberapa menit sebelumnya. Di sebuah pojokan belakang Aula yang gelap tak berlentera. Beberapa orang pentolan organisasi berkumpul. Ya, semuanya pentol kecuali aku. Aku Sosis. Entah kenapa dalam pertemuan yang singkat itu. Aku melontarkan kesanggupan yang bodoh. Tapi kesanggupan itu memang bukan atas nalar logika yang normal, melainkan terucap secara tiba-tiba mengingat kondisi organisasi yang sudah sedemikian rupa. Bukannya aku merasa sanggup mengatasinya dan bersiap menjadi pahlawan kesiangan, Tapi aku yang sombong dan sok tahu ini melihat sudah tidak ada yang peduli. Atau lebih tepatnya sudah tidak ada yang mau menjadi korban berikutnya. Aku maju membusungkan dada, siap menjadi korban dari sebuah tragedi yang mereka menyebutnya Konferensi.
"Semakin bertambah usia, semakin bertambah masalah, semakin bertambah tanggung jawab yang diemban. Tak usah lari. Toh kalaupun lari yang dituju adalah masalah lain juga"
Comments