Skip to main content

Harga Elpiji Non Subsidi Naik, Kok Hanya Dahlan Iskan yang Mengaku Salah ?



Beberapa hari belakangan ini ramai media menyoal kenaikan harga elpiji 12 kg alias elpiji non subsidi. Kenaikan yang mengagetkan di awal tahun. Menjadi ramai karena kenaikannya yang langsung drastis dan terjadi di awal tahun 2014 pula. Tahun politik, kata orang.
Maka para pejabat yang berlatak belakang partai politik pun tidak mau hal ini menjadi bumerang. Mereka beramai-ramai berstatemen bahwa mereka tidak terlibat dan tidak ikut bertanggung jawab atas kenaikan harga itu. Lalu mereka mengambil langkah-langkah agar kenaikan harga yang cukup tinggi tersebut dikoreksi.
Di antara jajaran para pejabat, yang paling bertanggung jawab adalah menteri BUMN dalam hal ini Dahlan Iskan. Karena strukturnya yang langsung membawahi Pertamina. Beliaupun menjadi sasaran tembak banyak orang termasuk para menteri lainnya yang menurut saya agak aneh. Hingga akhirnya Dahlan Iskan pun mengaku salah atas kenaikan harga tersebut.
Saya pikir pengakuan salah Dahlan Iskan itu kurang tepat dan hanya sekedar pantas-pantasan saja.
Bukankah yang naik harganya itu adalah elpiji 12 kg yang non subsidi? Bukan elpiji 3 kg yang bersubsidi!
Terlepas dari memberatkan atau tidak, bukankah elpiji non subsidi dan komoditi-komoditi non subsidi lainnya itu memang menyerahkan besaran harganya pada mekanisme pasar. Kalau harga dituntut harus naik ya naik, kalau harga dituntut turun ya turun. Tidak aturan yang dilanggar dalam kenaikan harga elpiji non subsidi.
Maka pengakuan salah Dahlan Iskan selaku atas Pertamina saya pikir kurang tepat. Pada sisi mana Pertamina melakukan pelanggaran? tidak ada.
Kalau pengakuan salah Dahlan Iskan itu sebagai pantas-pantasan saja, maka saya pikir itu sah-sah saja, agar para pengguna elpiji 12 kg selaku "korban" menjadi lega. Namun pertanyaan saya kemudian, kok hanya Dahlan Iskan yang mengaku salah?
Bukankah seharusnya Jero Wacik selaku menteri ESDM juga harus mengaku salah karena tidak bisa menyediakan gas mentah yang lebih murah bagi pertamina?
Bukankah Hatta Rajasa selaku Menko Perekonomian juga harus mengaku salah karena tidak bisa mengondisikan perekonomian yang tidak memberatkan Pertamina?
Bukankah Pak SBY juga harus mengaku salah karena bagaimanapun beliaulah pemimpin tertinggi negeri ini?

Apapun itu saya bukanlah ahli energi, saya juga tidak mengerti politik. Saya hanyalah rakyat kecil pengguna elpiji 3 kg yang berharap kenaikan harga elpiji 12 kg itu tidak membuat distribusi elpiji 3 kg menjadi bermasalah, langka dan lain sebagainya akibat maraknya peralihan pengguna elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg.

Comments

Popular posts from this blog

Algoritma Google dalam Menerka

Google perusahaan pencari paling besar di bumi selain semakin menggila, juga semakin tidak masuk akal perkembangannya. Algoritma yang dikembangkan google membuat kesok tahuan google bermetamofosis menjadi keserba tahuan. Dulu untuk mencari data menggunakan mesin pencari semacam google diperlukan trik-trik khusus. Yakni dengan menambahkan algoritma pemrograman. Di antara trik itu bisa dibaca di sini . Kita perlu menambahkan AND, OR, *, -, &, dan lain sebagainya ke dalam pencarian kita. Lebih rincinya silakan dibaca di artikel tersebut. Artikel itu ditulis pada 2008. Sekarang. 11 tahun dari artikel itu ditulis. Algoritma google sudah mengalami kemajuan pesat. Suatu malam, tetangga saya punya hajat. Manten. Agak jauh dari rumah. Tapi suara sound systemnya terdengar cukup jelas dari kamar tidur saya. Afham yang saat itu mendengar sebuah lagu dari acara mantenan secara refleks menirukan. Entah darimana ia mengenal lagu itu. Hanya saja ia melafalkan lirik yang salah. Saat ...

Kawal Gerakan 10.000 Sebulan dengan Fintech

Salah satu yang menarik perhatian saya pada Munas Ikapete tahun ini adalah launching Gerakan 10.000 Sebulan. Ini adalah gagasan besar yang melibatkan hal kecil. Barangkali ada yang mencibir kok 10.000? Kenapa tidak 100.00 saja? Itu kan terlalu receh? Biar! Asal tahu saja, roda ekonomi Indofood CBP Tbk. bisa berputar karena peran recehan. Coba kalau Indomie produk mie sejuta ummat yang dimiliki Indofood itu dijual  dengan harga 100.000 per bungkus. Belum satu tahun bisa tutup itu pabrik. Tutup bukan karena ongkos produksinya besar tapi karena jualannya tidak laku. Ibarat mencari ikan, Gerakan 10.000 Sebulan menurut saya adalah menjaring bukan memancing. Harus diakui alumni Tebuireng yang tersebar di seantero dunia ini selain jumlahnya banyak juga berasal dari beragam kelas sosial ekonomi. Mulai dari yang berprofesi sebagai pengusaha, pengacara, sampai sopir truk ekspedisi. Asli, yang terakhir itu salah satu teman satu angkatan saya. Kemampuan ekonomi mereka pun beragam. Mulai d...

Rajabiyah dan Kemeriahannya

  Waktu itu sekitar November 1998. Para santri baru saja kembali dari menikmati liburan caturwulan I di bulan Oktober. Sekembali ke pondok, sebagai santri yang baru mondok empat bulan saya dikejutkan dengan kemeriahan di Tebuireng. Kemeriahan itu bernama Rajabiyah. Sebuah kegiatan yang rutin tiap tahun dihelat oleh para santri secara mandiri. Mereka urunan sendiri, membentuk kepanitiaan sendiri, mengurus segala detailnya sendiri. Setiap komplek di Tebuireng menggelar kegiatan Rajabiyah. Pun dengan Orda (Organisasi Daerah) juga menggelar kegiatan dengan tema yang sama. Kemeriahan Rajabiyah ini persis seperti kemeriahan Agustusan di kampung. Berbagai lomba digelar. Mulai dari lomba ilmiah semacam lomba baca kitab, lomba pidato, lomba adzan, lomba bilal, lomba cerdas cermat, lomba kaligrafi dan semacamnya. Sampai dengan lomba non ilmiah yang bernuansa hiburan seperti balap karung, kepruk kendil, sepak bola, makan krupuk dan lomba aneh-aneh lainnya. Untuk lomba non ilmiah ini nampak ma...