Di beberapa kantor tempat bekerja berlaku peraturan yang sangat ketat. Pegawai dilarang menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan yang bersifat pribadi. Smile Printing tempat saya biasa mencetak plat cetak dan A3 laser memiliki aturan yang juga cukup ketat untuk para pegawainya. Mereka melarang pegawai menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi seperti, telepon, internet, kendaraan dan macam-macam lainnya.
Melihat hal itu saya jadi teringat warkop atau warung kopi. Saya sudah hobi nongkrong di warung kopi sejak masih sekolah, saat masih nyantri di Pesantren Tebuireng saya gemar nongkrong di warkop Narti. Kalau teman-teman nongkrong di sana karena ingin merokok sembunyi-sembunyi (peraturan pesantren melarang santri merokok), saya tidak. Entahlah saya hanya merasa rileks kalau nongkrong di warkop meski hanya ditemani secangkir kopi.
Kebiasaan nongkrong di Warkop itu berlanjut ketika saya kuliah. Namun agak berbeda dengan ketika masih nyantri. Saat kuliah saya sering nongkrong di warkop untuk menyimak koran. Bahkan hingga semua berita baik yang penting maupun yang tidak penting, yang berhubungan dengan minat saya atau yang tidak berhubungan dengan minat saya, saya baca.
Selanjutnya hobi ngopi itu semakin mak nyus ketika banyak warkop yang mulai melengkapi diri dengan fasilitas mentereng layaknya kafe-kafe mahal seperti area free WiFi dan TV kabel. Gila! hanya bermodalkan uang 2 ribu rupiah untuk memesan kopi kita bisa menikmati apa yang bisa kita dapatkan di kafe-kafe yang mengharuskan kita merogoh kocel minimal 50 ribu rupiah.
Orang-orang awam mungkin masih menganggap warung kopi adalah tempatnya orang-orang pekerja kasar, orang-orang yang hobi taruhan, orang-orang yang tidak ada kerjaan. Barangkali iya, tapi itu dulu. Kini dengan munculnya fasilitas-fasilitas modern tersebut warung kopi telah mengundang berbagai macam kalangan untuk nongkrong di sana, termasuk saya. Justru saya seringkali terbantu oleh warung kopi. Pertama, adalah kopi. Kopi adalah minuman favorit saya setelah air putih. Yang kedua adalah koran. Saya tidak perlu berlangganan koran untuk tidak ketinggalan informasi terbaru atau perspektif berpikir para tokoh dan akademisi yang ditulis pada kolom opini. Yang ketiga WiFi. Ini yang paling penting dengan adanya akses internet gratis saya bisa seharian nongkrong di Warkop tapi tidak untuk berleha-leha melainkan untuk bekerja. Ya, bekerja. Bekerja di Warkop. Bukan, bukan jualan di warkop. Tapi menggunakan fasilitas Warkop untuk bekerja. Ketika ada kerjaan desain saya bisa mendownload berbagai macam bahan desain yang saya butuhkan atau sekedar mencari referensi. Atau terkadang kalau berkirim email untuk mengirimkan contoh desain kepada klien. Dan pagi ini, saya mendownload video untuk materi mengajar saya. Kurikulum 2013 mengharuskan saya menjadi guru yang kreatif. Apalagi SMP Zainuddin tempat saya mengabdi, tahun ini sudah melengkapi diri dengan LCD Projector dan Speaker aktif untuk menunjang kegiata belajar mengajar.
Jadi kalau saya nongkrong di warkop itu bukan sedang tidak ada kerjaan melainkan sedang repot-repotnya. Kadang-kadang enggak juga, sih.
Terima kasih Warkop.
Melihat hal itu saya jadi teringat warkop atau warung kopi. Saya sudah hobi nongkrong di warung kopi sejak masih sekolah, saat masih nyantri di Pesantren Tebuireng saya gemar nongkrong di warkop Narti. Kalau teman-teman nongkrong di sana karena ingin merokok sembunyi-sembunyi (peraturan pesantren melarang santri merokok), saya tidak. Entahlah saya hanya merasa rileks kalau nongkrong di warkop meski hanya ditemani secangkir kopi.
Kebiasaan nongkrong di Warkop itu berlanjut ketika saya kuliah. Namun agak berbeda dengan ketika masih nyantri. Saat kuliah saya sering nongkrong di warkop untuk menyimak koran. Bahkan hingga semua berita baik yang penting maupun yang tidak penting, yang berhubungan dengan minat saya atau yang tidak berhubungan dengan minat saya, saya baca.
Selanjutnya hobi ngopi itu semakin mak nyus ketika banyak warkop yang mulai melengkapi diri dengan fasilitas mentereng layaknya kafe-kafe mahal seperti area free WiFi dan TV kabel. Gila! hanya bermodalkan uang 2 ribu rupiah untuk memesan kopi kita bisa menikmati apa yang bisa kita dapatkan di kafe-kafe yang mengharuskan kita merogoh kocel minimal 50 ribu rupiah.
Orang-orang awam mungkin masih menganggap warung kopi adalah tempatnya orang-orang pekerja kasar, orang-orang yang hobi taruhan, orang-orang yang tidak ada kerjaan. Barangkali iya, tapi itu dulu. Kini dengan munculnya fasilitas-fasilitas modern tersebut warung kopi telah mengundang berbagai macam kalangan untuk nongkrong di sana, termasuk saya. Justru saya seringkali terbantu oleh warung kopi. Pertama, adalah kopi. Kopi adalah minuman favorit saya setelah air putih. Yang kedua adalah koran. Saya tidak perlu berlangganan koran untuk tidak ketinggalan informasi terbaru atau perspektif berpikir para tokoh dan akademisi yang ditulis pada kolom opini. Yang ketiga WiFi. Ini yang paling penting dengan adanya akses internet gratis saya bisa seharian nongkrong di Warkop tapi tidak untuk berleha-leha melainkan untuk bekerja. Ya, bekerja. Bekerja di Warkop. Bukan, bukan jualan di warkop. Tapi menggunakan fasilitas Warkop untuk bekerja. Ketika ada kerjaan desain saya bisa mendownload berbagai macam bahan desain yang saya butuhkan atau sekedar mencari referensi. Atau terkadang kalau berkirim email untuk mengirimkan contoh desain kepada klien. Dan pagi ini, saya mendownload video untuk materi mengajar saya. Kurikulum 2013 mengharuskan saya menjadi guru yang kreatif. Apalagi SMP Zainuddin tempat saya mengabdi, tahun ini sudah melengkapi diri dengan LCD Projector dan Speaker aktif untuk menunjang kegiata belajar mengajar.
Jadi kalau saya nongkrong di warkop itu bukan sedang tidak ada kerjaan melainkan sedang repot-repotnya. Kadang-kadang enggak juga, sih.
Terima kasih Warkop.
Comments